BAGIAN 3
Memang, setiap kali aku menghirup udara di kampus, cuma Steven yang ada diotak Nara. Ya. Steven memang mantan kekasihku sewaktu SMA. Tapi tetaplah dia hanyalah sebatas masa lalu yang patut untuk dilupakan. Aku tak ingin membahasnya lebih lanjut di sini. Jadi anggap saja pertanyaan Nara barusan adalah sesuatu yang tidak memerlukan jawaban. Itu sama sekali tidak penting.
Akhirnya selepas kepulangan Nara, akupun melihat secara keseluruhan foto-foto hujan yang secara sengaja kusimpan di laptopku. Asal kalian tahu, aku ini selain aneh, juga penikmat hujan. Suara hujan sama dengan suara hatiku. Kadang ia mendialog kegirangan, kadang juga kegetiran. Setiap jendela kaca yang disentuh oleh butiran air langit juga selalu menarik perhatianku. Payung-payung yang berjejer di jalanan selalu menggetarkan kedua tanganku untuk mengambil beberapa gambar. Lalu setelah itu, puisi hujan kuciptakan.
“Andai malam ini hujan turun,,,
Akan kugenggam sebongkah asa walau ujungnya selalu tragis
Kuyakin alam juga setuju atas permintaanku ini..”
Begitulah sebuah caption foto diinstagramku yang kuunggah pada malam sepiku. Begitu tak terduga, seketika ada lagi yang membuat jantungku hampir meledak.
“WHAT???”
Rio mengomentari unggahanku tadi lewat direct message.
“Alam tidak akan menyetujui permintaanmu itu karena aku tak mau kedinginan saat tidur. Btw kamu Miona yang kemarin kan?”
Sumpah demi apa, jariku tak bisa mengetik apapun pada layar ponsel. Yang kulakukan hanyalah berteriak, berguling-guling di atas tempat tidur, lalu melempar bantal ke arah pintu. Dan…
Plukkkk!
“WOI KAKAK!!!!!”
Ternyata adikku kena sasaran empuk sumber ketidakwarasanku. Akupun hanya cengengesan saat adikku itu memantulkan wajah iblisnya. Wajar sih. Niat baik masuk kamar saudara kandung, malah mendapat granat empuk. Untung saja dia tidak sampai benjol.
“Ada apa ke sini?” tanyaku dengan setengah wajah yang memelas supaya dimaafkan.
“Mama suruh saya cek kondisi kakak karena sedari tadi teriak gak jelas. Mengganggu kesehatan tetangga sih kamu itu kak!”
Bagaimana bisa hanya dengan aku yang teriak-teriak di malam hari, bisa mengakibatkan gangguan mental pada tetangga, oh tidak maksudku mengganggu kesehatan tetangga. Tapi mengganggu kesehatan jenis apa?
“Baiklah. Kalau begitu kakak mau tidur saja. Jam teriaknya sudah selesai kok. Sana keluar.”
Akupun membohongi adikku agar segera keluar dari kamarku. Setelah itu aku membalas komentar Rio. Karena sayang juga kalau tidak dibalas. Soalnya ini kesempatan baik. Akhirnya sampai jam 2 pagi kami hanya disibukkan saling berbalas chat di instagram. Aku semakin terbawa perasaan, padahal hanya sebatas chattingan.
Akhirnya aku mengantuk juga. Kumatikan layar ponselku setelah mengirimkan balasan terakhir. Berharap keesokan harinya Rio membalas lagi . Tapi ternyata tidak. Malah Rio tak membacanya.
“Jangan melamun dong, Mi..” tiba-tiba Nara mengagetkanku.
“Iya.”
“Tugas pak Komar udah lu kerjain?”
“Udah. Nih…”
Aku sudah tahu bahwa ujung-ujungnya Nara hanya akan meminta contekan tugas.
“Makasih Miona, lu emang paling tau gue dah.”
“Hm. IYA.”
***
Lima bulan telah terlewati. Untuk mengurangi rasa gundah gulana, akupun pergi ke sebuah kedai kopi dekat rumahku. Tidak terlalu besar sih tapi bisa buat nyaman. Lantas, aku memesan secangkir hot chocolate mint cappucino berharap rasanya tidak seperti rasa yang pernah ada.
Kuputar-putar permukaan cangkir sebelum kuteguk. Harumnya tak jua mampu menggoyahkan kerinduanku pada laki-laki waktu itu, yang hanya sekali kutemui.
“Oh hujan turunlah…” bisikku sendirian.
Akhirnya hujan memang turun. Aku segera menatap ke arah jendela sambil tersenyum. Saking asyiknya, tak kuhiraukan lagi songgok daging manusia sudah duduk persis dihadapanku.
“Maaf nona jika aku mengagetkan.”
“Orang ini mirip Rio…” kataku dalam hati.
“Hey.. Sedari tadi aku sudah memperhatikanmu dari sudut sana. Karena kupikir mirip Miona, maka aku ke sini dan menghampirimu.” ucap lelaki itu.
“Aku Rio.”
Ingin rasanya kutepuk-tepuk pipi mungilku. Orang ini sedang berbohong atau tidak. Atau mungkin karena aku terlalu memikirkanya? Mana mungkin dia berada di sini. Kami sudah tak pernah lagi chattingan selama lima bulan belakangan. Keningku pun akhirnya berkerut.
“Kita pernah bertemu di kampusku, dan aku memang Rio.”
Jenis suara dan perawakannya memang identik dengan Rio. Betapa bahagianya aku. Kemudian kami pun mengobrol seperti orang yang sudah sangat akrab.
“Ngomong-ngomong kenapa kamu suka hujan?” pungkas Rio.
“Bawaan lahir.” Jawabku.
‘Kalau begitu, kalau aku ajak mandi hujan mau nggak?”
Aku bingung. Rasaku dia mendadak aneh. Skenario kebetulan yang sangat aku sukai.
Akan tetapi Rio tak mau menunggu lama, dengan entengnya dia menggenggam tangan kananku dan mengarahkan langkah kaki kami menuju luar kedai kopi. Di sana hujan memang sangat deras dan tak satupun terlihat manusia sedang berjalan atau sekedar berteduh. Jelaslah sudah aku berteriak saat menari-nari di bawah hujan bersama genggaman tangan Rio yang sangat lembut.
Tak sedetikpun ia melepas genggamannya hingga tatapan mata kami saling beradu. Nafasnya yang panas memburu terasa saat hidung kamipun hampir bersentuhan. Sama sekali tak mengkhawatirkan tubuh kami yang telah kuyub. Sepuluh menit keadaannya seperti itu. (*M)
Berlanjut >>>>>