Kenalkan, namaku Joanne. Biasa dipanggil Joan. Aku ini sudah kelas 3 SMA di sebuah SMA swasta di kota kelahiranku. Keseharianku hanya sekolah dan les, selebihnya mengerjakan PR lalu bermain game memasak offline sebelum tidur. Kamarku juga penuh buku-buku kumpulan puisi dan asal kalian tahu, aku yang tak suka bergaul ini pernah meraih juara 1 dalam lomba baca puisi di sekolahku.
Saat meraih juara 1 baca puisi, waktu itu aku masih kelas 1 SMA dan entah kenapa aku begitu tertarik dengan brosur yang menempel di mading depan ruang OSIS. Selain itu masih ada hal lain yang kuingat terkait juara 1 baca puisiku. Cleo. Ya.. Cleo. Beliau merupakan ketua OSIS kala itu. Pembawaannya beraroma kutu buku dan sangat rapi. Tak kutemukan kusut diseragam sekolahnya. Lantas ia pernah berceloteh kira-kira demikian.
“Hai, kenalkan namaku Cleo. Ikut lomba ya Joanne.. Aku tunggu pendaftaran kamu dikontak yang tersedia,” cetusnya sambil membaca papan nama diseragamku.
Seketika rasanya senang, seketika lagi biasa aja karna aku emang udah tertarik duluan dengan brosur baca puisi tersebut. Lantas aku menaikkan bahu lalu berlalu meninggalkan ketua OSIS yang rapi itu. Dengan cepat kulangkahkan gerakan kakiku menuju gerbang keluar karena pada saat itu sudah jam pulang sekolah.
Sesampainya di rumah, aku mendapati pesan masuk dari nomor yang tak dikenal. Ternyata nomornya sama dengan contact person dalam brosur. Akhirnya pesan tersebut kuputuskan untuk tidak membalasnya. Karena tugas matematika waktu itu sangat banyak. Bahkan hampir membuat pembuluh darahku pecah. Ah, aku ini. Suka lebay!
Keesokan paginya kudapati Cleo yang sudah nangkring di pintu OSIS.
“Anak ini masih pagi sudah nangkring di kantor OSIS, haduh,” pikirku.
Kebetulan untuk menuju kelasku, aku harus melewati kantor OSIS dulu. Si Cleo yang berdiri tidak kutahu sedang menunggu siapa, malah memberikan senyum manis ketika aku lewat. Aku menarik nafas saja dan menunduk. Kulakukan demikian supaya kelihatan menghormati kakak kelas. Lagi-lagi, dasar aku ini.
Akhirnya sampai di kelas, aku mulai memikirkannya. Kalau dipikir-pikir, ketua OSIS kami yang dulu tampan juga, murah senyum pula. Kudengar-dengar dari gosip cewek-cewek di kelasku, Cleo belum punya pacar bahkan sejak ia lahir. Tapi aku lantas membenturkan lamunanku terhadap Cleo dengan memukul keningku. Buat apa memikirkannya, bagiku nilai matematika yang bagus adalah puncak kebahagiaan dalam hidup.
Hari lepas hari, begitu dan selalu. Aku yang berusaha menghentikan pikiran jatuh cinta, malah membuatku semakin mantap diacara lomba baca puisi yang dipanitiai oleh OSIS sekolah kami.
“Selamat ya Joan, sudah TOP 1,” seru Cleo.
Akhirnya demi menghargai kakak kelas, kuiyakan selamatannya kepadaku dan mengucapkan:
“Terima kasih banyak kak,”
Dengan enteng dia memujiku secara berlebih. Cleo menyebut aku baguslah, kerenlah, mantullah, manislah, ah semua. Kututup saja perbincangan dengan hanya melontarkan senyum. Lalu aku berfoto dengan teman-temanku sebelum pulang. Sesekali kulirik ke arahnya. Tatapannya tertangkap basah sedang memperhatikanku.
“Topeng apa yang menyelimuti wajahku sehingga tatapannya begitu manis terhadapku,” pikirku dalam hati.
Lantas aku mengabaikannya.
Begitulah ceritaku kira-kira dua tahun yang lalu. Aku mengingat ini karena sebentar lagi akan mengikuti ujian nasional. Itu artinya seragam sekolah yang setiap hari itu-itu saja akan kulepas selamanya. Aku seperti anak burung pincang yang haus kebebasan. Cleo, dimana kamu sekarang?
—